Kata Akademisi dan Disparbud Jember

Akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Suharto menjelaskan, tradisi, kesenian dan budaya akan terus berkembang. Dia mencontohkan dalam kegiatan karnaval budaya yang digelar di bulan Kemerdekaan. Beragam kegiatan itu memang mengalami perubahan. Baik dari penampilan, tarian hingga musik pengiringnya.

Mengenai sound horeg yang biasanya menjadi musik pengiring, dirinya tak setuju dengan aktivitas tersebut. Terutama yang dimainkan di sekitar kawasan padat penduduk. Suharto memang mempersilakan jika ada yang menyetel sound. Namun suara yang dihasilkan dalam batas wajar.

"Menurut saya, silakan bermain. Kalau ini (horeg,Red), saya kurang setuju. Karena menimbulkan kerusakan nyata, paling tidak kerusakan fisik," tegasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jember, Bambang Rudianto mengatakan, sound horeg menjadi keniscayaan di masa sekarang. Namun yang perlu diperhatikan sekarang ini, lanjutnya, banyak pargoy yang musiknya kelewat batas.

“Karena di tempat yang ramai, yang padat, musiknya disetel sedemikian kencang. Sehingga kadang-kadang ada kaca yang pecah, plafon ambrol dan sebagainya,” jelasnya.

Rudi memiliki pandangan lain soal sound horeg, yakni dipertandingkan. Namun, lokasi kompetisi itu harus berada di lapangan yang jauh dari rumah penduduk. Menurutnya, itu menjadi bagian dari ungkapan ekpresi dan seni para penghobi, penikmat dan pemilik sound system.

“Kalau memang itu mau dikompetisikan, saya kira nggak masalah. Kan mereka juga punya kreasi, bagaimana sound system mereka itu punya desibel yang keras dan lainnya. Saya kira semua itu sebuah keniscayaan. Kita hanya tinggal me-manage saja,” pungkasnya. (mgm2/kin)

 

Foto: Sidkin Ali/Radar Jember

Keterangan Foto: Karnaval budaya yang diiringi sound horeg di Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates, Minggu (22/9/2024).

Halaman

1   2   3