
Kepatuhan UMK Jember, Apakah Bakal Terealisasi di 2024?
Penetapan UMK menjadi bagian penting yang harus dipatuhi oleh seluruh perusahaan. Ini karena menjadi salah satu tolok ukur bagi pekerja untuk bisa hidup layak. Lantas, bagaimana dengan Jember?
Penyelesaian urusan ketenagakerjaan dikenal lambat karena prosesnya yang panjang. Mereka yang memiliki kasus tentang upah minimum kabupaten (UMK), uang pesangon, atau pemutusan hubungan kerja (PHK), terkadang sampai setahun tak selesai. Ke depan, perlu solusi konkret. Paling tidak kasus di dunia kerja bisa selesai lebih cepat.
Nah, seperti diketahui, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jember untuk tahun 2024 yang telah ditetapkan sebesar Rp 2.665.392. Jumlah ini lumayan untuk kalangan buruh atau pekerja. Meski naik dari UMK sebelumnya, persoalan berikutnya apakah itu terealisasi dengan baik atau tidak masih menjadi tanda tanya besar.
"Nilai yang sudah ditetapkan itu, ya, harus ada pengawalan pemerintah daerah, khususnya bupati. Tidak boleh tidak mau tahu. Harus peduli terhadap besaran kenaikan UMK. Ada pengawasan di lapangan beserta sanksinya," urai Ketua Sarbumusi Jember Umar Faruk ketika dikonfirmasi, belum lama ini.
Faruk menilai, posisi pemerintah memiliki kendali atas pelaksanaan aturan atau keputusan yang selama ini telah ditetapkan. Termasuk dalam hal penetapan besaran UMK 2024 tersebut. "Tidak bisa UMK itu hanya dirapatkan, kemudian diputuskan. Tapi, yang tak kalah penting itu di pengawalan, penindakan, hingga sanksi kepada perusahaan yang memang berkewajiban memberikan upah sesuai UMK itu," tegasnya.
Pihaknya mewakili serikat buruh mengaku sangat menghormati keputusan UMK yang telah ditetapkan oleh gubernur, meski nominal itu jauh dari usulan yang disodorkan serikat buruh. Namun demikian, Faruk mendesak bupati melalui dinas terkait, pengawas tenaga kerja Provinsi Jawa Timur di Jember, beserta DPRD bisa benar-benar berfungsi dengan baik dalam mengawal berjalannya UMK 2024. "Semua itu harus berfungsi lah. Jadi, kami tidak harus turun ke jalan-jalan koar-koar, yang seharusnya memang menjadi tanggung jawab mereka," ketusnya.
Sekretaris Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jember Taufik Rahman mengungkapkan, dalam beberapa tahun terakhir, realisasi UMK di Jember tak sepenuhnya berjalan maksimal. Bahkan ia menyebut hanya sekitar 30 persen. "Kondisi ini belum kita ketahui, apakah karena perusahaan tidak tahu, tidak mampu, atau pura-pura tidak tahu dan macak tidak mampu. Atau justru Depekab yang menetapkan terlalu tinggi, ini semua masih tanda tanya besar," urai dia ketika dikonfirmasi, kemarin.
Taufik menyebut, di Jember perusahaan kecil dan menengah berjumlah hampir 2000-an. Sementara, perusahaan skala menengah dan besar, berkisar 700–800 perusahaan/pabrik. Sementara, jumlah pengawas dari provinsi hanya dua orang, ditambah unsur pemerintahan seperti dinas dan DPRD. Jelasnya, kata Taufik, pengawasan itu sangatlah lemah. "Karena itu perlunya ada monitoring berkala itu di sini, dengan melakukan beragam kajian empiris, sehingga tahu penyebabnya apa. Baru kemudian mencarikan solusinya," jelasnya.
Taufik juga berpandangan bahwa lemahnya penegakan UMK itu lantaran lemahnya regulasi yang menopang UMK. Meski gubernur telah memutuskan, dan diteruskan dengan surat imbauan dari bupati, UMK terbaru tak akan berjalan. "Penguatan secara regulasi itu juga perlu menambah daya gedor. Kalau cuma edaran itu kan hanya seruan. Beda dengan perbup, syukur-syukur perda, jelas lebih kuat karena ada konsekuensi dan sanksi-sanksi," papar Taufik.
Namun demikian, Taufik memandang perlunya pemerintah melakukan monitoring berkala dan penguatan pada regulasi itu. Mengingat UMK menjadi salah satu tumpuan dan harapan hidup para pekerja dan buruh, sekaligus sudah menjadi hak-hak mereka. "Saya menyadari upaya ini memang sangat sulit, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Selama ada kemauan, dan pemerintah tahu permasalahan di lapangan seperti apa, saya kira bisa dilakukan upaya-upaya yang bijak untuk menegakkan UMK ini," pungkas Taufik. (mau/c2/nur)
Bagikan ke: