
JEMBER, Radarjember.net – Tantangan menjalani bahtera rumah tangga begitu kompleks. Apabila tak mampu mengarunginya, bisa berujung perceraian. Nah, tahun 2025 ini, ada potensi kasus perceraian di Jember akan menyalip jumlah kasus cerai tahun 2024.
Untuk itu, perlu langkah-langkah agar tak semakin banyak warga yang menduda atau menjanda. Jika tidak, anak-anak bisa jadi korban ketidakharmonisan keluarga.
Faktor perceraian ini pun beragam. Mulai dari persoalan ekonomi, pertengkaran di dalam keluarga, perselingkuhan, judi online, hingga masalah karakter pasangan. Selain itu, ada banyak faktor lain yang juga memengaruhi orang bercerai.
Data selama dua bulan Januari dan Februari 2025 cukup mengejutkan. Ada sebanyak 1.121 permohonan cerai dan sebanyak 966 kasus telah diputus cerai. Jumlah pengajuan perceraian ini masuk di Pengadilan Agama (PA) Jember. Pada Januari 2025 totalnya mencapai 599 perkara dan 319 permohonan perceraian telah dikabulkan. Sementara, bulan Februari pengajuan perceraian mencapai 522 perkara dan sebanyak 647 perkara telah divonis cerai.
Jika melihat kasus perceraian tahun lalu, jumlahnya juga cukup tinggi. Terhitung selama periode setahun pada 2024 saja kasus perceraian yang masuk di PA Jember tembus 6.489 perkara. Sebanyak 5.613 permohonan perceraian bahkan dikabulkan. Nah, tingginya angka orang cerai di tahun 2025 ini bisa saja akan menyalip angka tahun 2024. Untuk itu, pemerintah diharapkan hadir agar tidak semakin banyak kasus cerai.
Humas PA Jember Mohammad Hosen mengatakan, mayoritas pernikahan yang berujung pada kasus perceraian disebabkan alasan ekonomi dalam rumah tangga. “Ini yang paling mendominasi menjadi penyebab perceraian, karena adanya masalah ekonomi. Jadi, masalah yang cukup kompleks, karena ekonomi ini sebabnya kan beragam, ya,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember.
Selain itu, ada juga yang merasa dipaksa untuk menikah, juga menjadi alasan lain yang menyebabkan banyak pasangan suami istri (pasutri) memilih untuk mengajukan permohonan cerai. Meski begitu, permohonan itu tidak secara pasti bisa dikabulkan tanpa alasan yang tepat.
“Ada memang yang merasa dipaksa, tidak senang dengan pernikahannya. Tapi kan kalau sudah berhubungan harusnya tidak bisa dong. Ini biasanya terjadi di umur pernikahan yang masih baru. Jadi, karena kurang sabar, akhirnya mengajukan perceraian,” tambahnya.
Psikolog Jember, Marisa Selvy Helphiana, menjelaskan, faktor ekonomi bukan menjadi penyebab utama dari sebuah perceraian. Masalah yang muncul dari rusaknya rumah tangga diakui terjadi karena buruknya komunikasi dari kedua pasutri.
"Jadi, pada saat pasangan ini memahami tujuan awal dari pernikahan, biasanya faktor ekonomi bukan merupakan halangan jika mereka saling mengerti porsi tugas masing-masing. Sehingga, ekonomi ini jadi faktor kedua pencetus perceraian, yang pertama itu karena komunikasi," jelasnya. (has/c2/nur)
Bagikan ke: