
JEMBER, Radarjember.net - Pahit getir kehidupan telah dirasakan Feri sejak kecil. Kondisi cerebral palsy atau gangguan yang memengaruhi gerakan dan koordinasi otot tubuhnya itu tak membuatnya minder. Pemilik nama lengkap Muhammad Feriyanto itu tetap percaya diri dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Meski tak bisa bebas bergerak, lelaki kelahiran tahun 2003 itu tak ingin hanya berdiam diri dan memohon belas kasihan orang lain. Justru sebaliknya. Feri tak menutup diri. Aktivitas di luar rumah tetap dijalani seperti layaknya teman-temannya.
Dalam aktivitasnya, Feri biasanya menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan. Sementara untuk perjalanan jauh, dia menggunakan sepeda roda tiga. Sepeda itu merupakan alat transportasi satu-satunya yang dia miliki. Kendaraan yang mengantarkannya jika ingin perjalanan cukup jauh dari rumah.
“Kadang ada anak-anak kecil yang mengatakan sepedanya mirip punya mereka, karena roda tiga. Tetapi, saya tidak pernah ambil pusing (untuk dipikirkan,Red). Namanya juga anak-anak kecil,” katanya saat ditemui di rumahnya di yang berada di Jalan Udang Windu, Lingkungan Krajan, Kelurahan Mangli, Kecamatan Kaliwates, Kamis (12/9) lalu.
Bagi Fery, sepeda itu spesial. Sejak kelas enam atau kisaran tujuh tahun lalu, sepeda itu menemaninya ke sekolah dan beraktivitas di luar rumah. Pernah rusak dan patah empat kali. Dua kali patah di jalan dan dua kali patah ketika di SMA. Tetapi, setelah diperbaiki, sepeda itu digunakan lagi hingga sekarang. “Ini sepeda BMX yang dimodifikasi. Dulu saat patah, ternyata besinya sudah keropos. Ya akhirnya (saya) jatuh,” ujarnya.
Saat ini Feri tercatat sebagai mahasiswa baru program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah UIN KHAS Jember. Sejak awal masuk kuliah, jarak tempuh untuk berangkat ke kampus dan pulang ke rumah semakin jauh dibandingkan saat sekolah. Begitu juga waktu tempuhnya semakin lama.
“Perjalanan ke kampus bisa 20 sampai 30 menit karena mengengkol. Pulangnya juga sama. Kalau hujan, ya, terpaksa berteduh. Itu kalau ada tempat untuk berteduh. Jika tidak ada, misalnya pas di tengah jalan sudah basah kehujanan, tetap lanjut karena menepinya susah,” jelasnya.
Anak ketiga Sawanah ini bercita-cita menjadi hakim. Oleh karena itu, sejak awal masuk kuliah, dia berupaya keras untuk mewujudkannya. Apalagi dirinya memiliki hobi membaca. Hal itu jadi modal awal untuknya terus mengasah kecakapan diri melalui bacaan-bacaan.
Begitu juga saat berbaur dengan teman-temannya. Menurutnya, itu menjadi bagian dari interaksi sosial. Harapannya agar difabel dihargai, diapresiasi dan diberikan kesempatan yang sama.
Tekadnya sederhana. Kesetaraan. Dalam hal apapun. Tak ada lagi sekat antara disabilitas dengan orang normal. Khususnya untuk Jember yang ramah difabel. “Penegakan hukumnya sampai fasilitas dan akses yang ramah difabel,” pungkasnya. (kin)
Bagikan ke: