Kabar Baik, UMK Jember Naik, Ini Besarannya
SURABAYA, Radarjember.net - Kabar bahagia menghampiri para pekerja atau buruh. Belum lama ini Pj. Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono telah merestui besaran upah minimum kabupaten (UMK) tahun 2025 untuk berbagai kabupaten dan kota se-Jatim, termasuk UMK Jember.
Nominalnya sama persis seperti yang diusulkan dan disepakati oleh Dewan Pengupahan Kabupaten (Depekab), yakni sebesar Rp 2.838.642,32. Nominal itu naik 6,5 persen atau Rp 173.250,32 dari nominal UMK 2024 yang sebesar Rp 2.665.392,00.
Besaran UMK Jember sekitar Rp 2,8 juta tersebut juga sama dengan Kota Probolinggo dan Banyuwangi. Sementara, kabupaten tetangga Jember, yaitu Lumajang besaran UMK-nya Rp 2,4 juta, dan Bondowoso Rp 2,3 juta.
“Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud, hanya berlaku bagi pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Dalam hal pengusaha tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud, dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan," bunyi petikan diktum keputusan Pj Gubernur Adhy Karyono, yang diteken Rabu (18/12).
Sebelum disahkan itu, di internal Depekab Jember sempat terjadi perbedaan pendapat mengenai nominal yang diusulkan. Meski pada akhirnya lahir mufakat dengan kenaikan 6,5 persen itu. Namun, masing-masing serikat pengusaha dan pekerja tetap memberikan catatan kritisnya.
Kabid Organisasi dan Humas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jember Imam menilai kenaikan 6,5 persen itu terkesan ujuk-ujuk dilakukan Presiden RI atau pemerintah pusat tanpa melihat kondisi perekonomian daerah, termasuk di Jember.
Menurutnya, kenaikan signifikan UMK itu akan berdampak langsung terhadap dapur perusahaan. Berupa peningkatan cost produksi, menyulitkan penyerapan tenaga kerja, hingga menyulitkan untuk investasi.
Meski begitu, Imam mengakui kondisi di Jember memang masih ada pengusaha tidak memberlakukan UMK penuh 100 persen karena sejumlah pertimbangan.
“Soal kami tidak membayar, itu nanti ada aturan main. Karena memang tidak semua pengusaha di Jember ini mampu penerapan UMK itu. Apalagi angka yang sekarang naik 6,5 persen. Tetapi secara lokal, kami itu ada konsensus, kesepakatan, dengan pihak pekerja,” urai Imam seusai menyepakati nominal UMK 2025 itu.
Jika di kubu pengusaha menilai kenaikan 6,5 persen itu memberatkan, di kubu pekerja justru sebaliknya.
Ketua DPC Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Jember Umar Faruk sejak awal menuntut kenaikan UMK 10 persen. Meski pada akhirnya kesepakatan kenaikan sebesar 6,5 persen.
Namun, Faruk menyoroti mengenai penerapan UMK yang selama ini dianggap masih jauh dari harapan. Bahkan ia menyebut, persentase perusahaan di Jember yang tidak menerapkan UMK mencapai 50 persen lebih.
“Fakta selama ini angka persentase pelanggaran di atas 50 persen dilakukan pengusaha, dan tidak ada sanksi apa pun. UU Nomor 13 Tahun 2003 di Pasal 90 ayat 1 tertulis, pengusaha dilarang membayar upah di luar ketentuan upah minimum kabupaten. Sanksinya juga jelas, minimal 2 tahun maksimal 4 tahun penjara,” jelas Faruk.
Sementara itu, Dewan Pakar Depekab Jember Bidang Hukum Aries Harianto menilai soal pemberlakuan UMK ketika sudah disahkan ini, maka sudah di luar tupoksi Depekab.
Meski Depekab Jember tidak berkewajiban menjatuhkan sanksi kepada pengusaha yang melanggar ketentuan UMK, kata Aries, namun ada regulasi lain yang menegaskan kewajiban itu dan menjadi wilayah dari aparat penegak hukum (APH).
“Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 89, 90, 91, jika pengusaha tidak komitmen dan tidak konsisten memberikan hak pekerja atau buruh, sesuai dengan ketentuan UMK, maka masuk kategori kejahatan pengupahan atau tindak pidana pengupahan. Dan soal bagaimana ditindaklanjuti atau tidak, itu otoritas penuh aparat penegak hukum,” katanya.
Meski aturan menegaskan demikian, Aries menilai tetap perlu ada kebijakan dan kearifan. Sebab, jika aturan pengusaha yang melanggar itu semuanya diproses hukum, maka akan banyak pengusaha yang terseret hukum. Sehingga, imbas terbesarnya akan lebih banyak pekerja yang menganggur.
Halaman
Bagikan ke: