Selasa, 02 Desember 2025

:
:
Etika Jadi Benteng Jurnalisme, Dewan Pers Ingatkan Kode Etik dan Pentingnya Akurasi kepala Jurnalis Jember
Jember
Etika Jadi Benteng Jurnalisme, Dewan Pers Ingatkan Kode Etik dan Pentingnya Akurasi kepala Jurnalis Jember

SUKORAMBI, Radarjember.net – Dalam beberapa waktu terakhir, keluhan publik terhadap pemberitaan media meningkat cukup tajam. Polemik mengenai etika pers kembali mencuat dan menjadi pembahasan serius.

Tidak sedikit sengketa terjadi bukan karena datanya keliru, melainkan cara penyajian informasi yang kurang tepat.

Pola seperti ini sering membuat framing menggantikan akurasi, terutama ketika proses peliputan dilakukan tanpa kehati-hatian.

Kondisi tersebut menjadi perhatian Dewan Pers yang kembali mengingatkan pentingnya berita yang berimbang, benar, dan menjalani proses verifikasi.

Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Abdul Manan menegaskan bahwa sebuah produk jurnalistik hanya diakui sah apabila dibuat oleh wartawan melalui rangkaian kerja jurnalistik secara penuh. Mulai dari pencarian data, penggalian keterangan, pengolahan, hingga publikasi.

Menurutnya, akurasi adalah fondasi utama, terlebih dalam detail kecil yang sering dianggap remeh. Kesalahan kecil, ucapnya, bisa berubah menjadi persoalan besar yang merusak kredibilitas media.

Manan juga mengingatkan soal bahaya framing berbasis selected story, yaitu pengemasan informasi yang hanya memilih bagian tertentu untuk menyorot individu, sekalipun faktanya benar.

“Dalam mengolah informasi, akurasi itu sangat penting karena ketika kita ceroboh dalam hal-hal sederhana, itu artinya kita ceroboh dalam prinsip. Dan itu bisa membahayakan reputasi wartawan maupun medianya,” urainya.

Dalam hal penggunaan sumber, Manan menilai komitmen antara wartawan dan narasumber harus dijaga secara konsisten.

Termasuk kesepakatan terkait embargo, off the record, maupun informasi background.

Ia menyebut sumber anonim sebagai wilayah paling riskan karena rawan menimbulkan konsekuensi hukum bila dikelola sembarangan.

Menurutnya, informasi anonim harus ditopang setidaknya tiga sumber agar layak diberitakan. Sebaliknya, satu sumber terbuka sudah mencukupi.

“Kalau membuat komitmen dengan narasumber, pastikan itu dipatuhi. Karena informasi background dan anonim punya risiko hukum yang harus ditanggung media bila tidak diperlakukan dengan tepat,” tegasnya.

Lebih jauh ia menekankan bahwa sengketa pers mudah mengarah pada proses pidana apabila media mengabaikan kode etik.

Karena itu, nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Polri mengatur bahwa kepolisian wajib meminta pertimbangan Dewan Pers sebelum menangani laporan terhadap wartawan.

Media juga perlu memberikan ruang pada hak koreksi dan hak jawab agar persoalan tidak berkembang.

“Meski sudah patuh kode etik, peluang diadukan tetap ada, sehingga mekanisme hak koreksi dan hak jawab harus dipakai sebelum perkara masuk ranah lainnya,” ujarnya. (kin)

Bagikan ke:

Berita Terkait