Selasa, 29 April 2025

:
:
Perjuangan Guru Honorer Jember yang Sudah Jadi PPPK, Sepuluh Sekolah Berhasil Didirikan
Pendidikan Inspirasi
Perjuangan Guru Honorer Jember yang Sudah Jadi PPPK, Sepuluh Sekolah Berhasil Didirikan

MENDENGAR lika-liku kehidupan guru honorer sering kali menguras emosi. Apalagi pengalaman mengajarnya hingga bertahun-tahun itu hanya digaji ratusan ribu rupiah setiap bulannya. Memang masih jauh dari sejahtera, tapi soal pendidikan, baginya adalah yang utama.

“Mengajarlah dengan hati, jangan melihat gaji,” ujar Nur Fadli, guru dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), mengakhiri obrolan, kemarin (7/1).

Fadli, sapaan akrabnya, adalah seorang guru atau pendidik. Dirinya telah mengajar lebih dari 22 tahun. Selama itu pula, asam dan pahitnya dunia guru telah ditelan. Meski hasil akhir tidak selalu manis, dia selalu optimistis akan menuai kebaikan yang telah ditabur.

Guru asal Dusun Manggis, Desa/Kecamatan Sukorambi, itu mulai mengajar di sekolah pada tahun 2001. Namun, sekolah itu bukan lembaga resmi yang telah terdaftar di pemerintah. Melainkan sekolah rintisan dan belum diakui. Hampir setahun, dia mengajar berpindah-pindah tempat. Dari satu sekolah ke sekolah lain.

Semangatnya saat itu hanya ingin mengajar, membagikan ilmu yang dimiliki untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Setahun berselang, Fadli mulai menata. Dirinya tidak bisa jika hanya berpindah-pindah tempat. Dia memutuskan mengajar di sekolah yang sudah ada izinnya meskipun swasta. Sembari mengajar itu, dia tetap kuliah jurusan hukum di Universitas Islam Jember hingga lulus pada tahun 2004.

Semangat mengajarnya tak pernah redup. Justru semakin berapi-api. Dia mulai merintis sekolah dasar di Bintoro. Sekolah yang menjadi awal mula berdirinya SD Negeri Bintoro 05 Patrang. Di tempat inilah, dirinya akhirnya memilih tempat pengabdian.

“Mengajarnya masih tidak tentu. Meskipun ijazah hukum, di SD kan tidak ada mata pelajaran hukum. Jadi, saya mengajar bahasa Inggris, olahraga, mengajar kelas, bermacam-macam diajar,” katanya.

Saat itu, lanjut Fadli, dia mulai mendapatkan gaji di angka Rp 200 ribu per bulan. Memang gaji yang masih sedikit. Jauh dari kata sejahtera. Tetapi, menjadi guru bukanlah satu-satunya profesi yang dia geluti. Di sisi lain, ijazah hukum mengantarkannya bekerja sebagai pengacara atau lawyer. “Pagi mengajar, siang atau sore jadi lawyer. Kalau hanya mengandalkan dari gaji honorer tidak akan cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari,” terangnya.

Gaji ratusan ribu itu bertahan hingga 14 tahun. Tepat di 2019, dia mengikuti ujian PPPK. Hasilnya bagus, dia lolos. Tetapi, rumitnya pemerintah saat itu membuat SK tak kunjung turun. Berkali-kali itu pula dia memimpin para honorer yang telah lulus PPPK untuk audiensi dengan pemerintah. Hasilnya nihil. Dua tahun, statusnya tak jelas, antara honorer atau PPPK.

“Yang jelas, ada kenaikan, tetapi masih terhitung digaji sebagai honorer. Baru 2021 SK-nya turun dan resmi jadi PPPK,” ungkapnya.

Tentunya selama belasan tahun sejak 2001, pengalaman mengajarnya membentuknya menjadi pribadi yang tangguh. Mengajar di kawasan pinggiran yang sulit dijangkau bukan masalah. Toh, dia juga menjadi lawyer, sekaligus menjajal usaha sampingan lain.

Hasil tidak pernah mengkhianati usaha. Perjuangannya yang susah itu dapat dilalui. Hingga akhirnya, pundi-pundi pendapatan bertambah. Tak hanya satu sekolah yang berhasil didirikan. Tahun demi tahun, jumlah sekolah juga makin bertambah. Hingga saat ini sudah ada sepuluh sekolah yang telah berdiri. Mulai jenjang TK hingga SMA. “Lima sekolah murni saya dirikan sendiri. Lima lainnya saya dirikan bersama teman-teman,” bebernya.

Mereka yang sekolah di sana tak dipungut biaya. Sebab, fondasinya tidak hanya terbuat dari material bangunan. Melainkan semangat mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Alumnus sarjana olahraga Universitas PGRI Banyuwangi tahun 2011 itu bertekad untuk memajukan pendidikan. Khususnya di sekolah pinggiran yang telah dia dirikan.

Menurut pria 42 tahun ini, mengajar itu bukan hanya soal gaji, melainkan hati nurani. Oleh karena itu, dari sepuluh sekolah yang telah berdiri, anak putus sekolah tak lagi dia temui.

“Semangat yang terus saya bawa, jangan sampai banyak anak putus sekolah seperti saya. Karena dulu sering putus sekolah masalah biaya. Saya tidak ingin mereka bernasib sama dengan saya,” tegasnya.

Bapak tiga anak itu berharap, apa pun latar belakangnya, pendidikan tetap jadi yang utama. Dirinya yang memiliki empat ijazah perguruan tinggi itu tetap menempatkan prioritas pendidikan anak-anak. “Mencerdaskan bangsa tidak boleh tanggung-tanggung, separuh-separuh, harus totalitas,” pungkas pengurus HIPMI Jember tersebut. (kin/c2/nur)

Bagikan ke:

Berita Terkait